Memahami Tenaga Prana dengan Fisika (Bagian 1)


Tenaga dalam atau tenaga prana, merupakan sebuah fenomena yang misterius. Belum adanya penelitian ataupun kajian tentang tenaga prana ini membuat orang mengkaitkanya dengan hal-hal yang bersifat mistik, sementara itu para praktisi yang mempelajarinya kebanyakan tidak mampu menjelaskan dengan bahasa ilmiah yang bisa diterima masyarakat.

Berikut ini adalah artikel-artikel yang saya ambil dari beberapa sumber :

Menguak Tabir Prana dengan Fisika
SEBAGIAN masyarakat umumnya masih memandang perguruan yang memfokuskan diri pada tenaga dalam seperti Nampon, Satria Nusantara, Prana Sakti, Sinlamba, dan banyak perguruan sejenis lainnya yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, sebagai ilmu yang sarat hal mistik dan di luar nalar manusia. Karena itu, keberanian Nampon menyeminarkan fenomena tenaga prana dari sudut pandang ilmu fisika dan menghadirkan guru besar fisika teoretis ITB Prof Pantur Silaban, merupakan hal yang amat positif. Nampon dan sejenisnya adalah salah satu kekayaan asli budaya Indonesia yang perlu dilestarikan dan digali eksistensinya.

Ilmu Nampon sendiri berkembang sejak 1932. Tercatat nama besar seperti Bung Karno pernah belajar ilmu ini, saat menjadi mahasiswa THS (sekarang ITB) di Bandung.

Fenomena tenaga prana pada beberapa perguruan sering dikaitkan dengan terpentalnya si penyerang ketika berusaha menyerang seseorang yang memiliki tenaga tersebut. Guru besar Satria Nusantara (SN) Maryanto (1990), menjelaskan gejala tenaga prana dengan pendekatan teori medan Elektromagnetik (EM). Si penyerang memberikan frekuensinya yang berbanding lurus dengan energi kepada yang diserang. Akibatnya, terjadi penguatan amplitudo yang akan memperbesar energi balik ke penyerang dan menyebabkan gangguan kepada yang bersangkutan, sesuai intensitas energi yang diaktifkan.

PENJELASAN tenaga prana dari sudut pandang ilmiah pada beberapa perguruan sejenis di Indonesia umumnya mengikuti teori gelombang EM di atas, di mana mekanisme penjalaran tenaga prana dijelaskan melalui interaksi berdasarkan jarak (action at distance) yang memerlukan pengertian medan (besaran fisis yang mempunyai nilai di setiap titik dalam ruang) dan gelombang sebagai perantaranya. 

Untuk membuktikan kebenaran teori EM, medan energi pada pelaku tenaga prana harus dapat diukur dan dinyatakan secara kuantitatif. Faktanya, sampai saat ini belum ada hasil ilmiah yang dapat menunjukkan kebenaran ide tersebut, walaupun pendekatan dengan model EM adalah yang tertua dipikirkan manusia sejak dahulu (Cazzamalli, 1925). 

Kelemahan penjelasan dengan mekanisme ini terletak pada proses rambatan gelombang EM yang memerlukan jeda waktu, sedangkan fenomena tenaga prana sendiri pada praktiknya tidak terbatas oleh adanya ruang dan waktu. 

Dengan demikian, perlu dicari mekanisme yang lebih representatif untuk menjelaskan fenomena tenaga prana. Beberapa ahli fisika dan psikologi mengajukan beberapa konsep seperti Model Entropi dan Proses Acak (Gatlin, 1972), dan Model Perwakilan Ruang Hiper (Feinberg, 1967, 1975). Bahkan ada yang lebih jauh lagi dengan model yang dinamakan Kecerdikan Jagat Raya (Universal Intelligence). 

Model ini mengatakan bahwa eksistensi pikiran manusia melingkupi semua ruang dan waktu. Apa yang ingin diwujudkan dalam ruang dan waktu dapat diprogram pikiran manusia.

DARI semua model di atas, penulis tertarik dengan Model Holografik yang dikembangkan pakar fisika David Bohm dan pakar psikologi Karl Pribram (1971,1975,1976). Mereka menyimpulkan bahwa informasi di alam ini bukan merupakan fungsi ruang dan waktu, tetapi dalam bentuk “getaran” yang dalam ilmu Fisika diwakili dengan persamaan gelombang dengan amplitudo dan frekuensi masing-masing.

Kesadaran manusialah yang melakukan “Transformasi Fourier” (sebuah konsep matematika yang dapat memetakan semua proses fisik di alam dalam bentuk frekuensi dan amplituda serta kelipatannya) agar dapat mewujudkan informasi tersebut ke dalam ruang dan waktu. 

Penjabaran lebih lanjut model ini adalah kesadaran manusia (pikiran) dapat mengambil semua getaran yang ada di alam. Kemudian melalui proses transformasi tenaga prana, abstraksi dapat diwujudkan ke dalam ruang dan waktu.Dengan mengikuti perkembangan model fisika di atas, pemahaman pada mekanisme tenaga prana tidak lagi terbatas pada dimensi yang sempit, hanya sebatas ruang dan waktu, melainkan juga pada dimensi yang lebih luas yang menyangkut wilayah esoterik dan dimensi kesadaran yang hanya dimiliki manusia.

Oleh karena itu, diperlukan pengertian ilmu fisika dan cabang disiplin ilmu lainnya yang lebih komprehensif. Dengan kata lain diperlukan sebuah konsep yang dapat menjelaskan segala sesuatu di alam semesta berdasarkan teori tunggal. Teori tersebut dalam ilmu fisika dikenal sebagai A Theory of Everything. ALBERT Einstein menghabiskan waktu lebih dari 30 tahun sisa hidupnya untuk membangun teori yang dapat menggabungkan empat gaya dasar yang berlaku di alam semesta: gravitasi, elektromagnetik, dan dua buah gaya nuklir, kuat dan lemah. Sebuah teori yang diharapkan dapat menjelaskan proses terjadinya “dentuman besar” (big bang) pada awal evolusi, fisika dalam partikel atom dan semua hal-hal mikroskopik. 

Namun demikian, misi itu sampai akhir hayat hidupnya bahkan sampai saat ini belum juga tercapai. Kompatriot Einstein berusaha menciptakan teori tersebut dengan menggabungkan teori relativitas (untuk menjelaskan gravitasi) dan fisika kuantum (untuk gelombang elektromagnetik dan 2 gaya nuklir, kuat dan lemah). Dua hal yang saling berlawanan, yang satu berkisar pada hal besar seperti galaksi, quasar, dan yang satunya lagi hal kecil di dunia sub-atomik, hal yang diskrit seperti paket energi disebut kuanta, ternyata gagal setelah 50 tahun berusaha mewujudkan A Theory of Everything.

DEWASA ini para pakar fisika berusaha mendekatinya dengan pendekatan lain. Ada Stephen Wolfram dengan teori Automata Selular dan Michio Kaku dengan pendekatan perwakilan ruang Hyperspace.

Dalam kaitannya dengan pemahaman pada beberapa model yang telah dipaparkan sebelumnya, mungkin buku Michio Kaku (1994) yang berjudul Hyperspace: A Scientific Odyssey Through Parallel Universes, Time Warps and the Tenth Dimension, dapat menjelaskan mekanisme tenaga prana lebih baik lagi dalam usaha perumusan teori di atas. 

Kaku mendapatkan idenya dari penemuan Einstein tahun 1915 yang mengatakan bahwa alam semesta terdiri dari empat dimensi: ruang dan waktu yang berkembang. Kelengkungannya menyebabkan “gaya” yang disebut “gravitasi”. Kemudian Theodore Kaluza pada tahun 1921 meneruskan riset Einstein tersebut dan mengatakan bahwa riak pada dimensi ke “lima” dapat dilihat sebagai “cahaya”.

Bagaimana dengan dimensi yang lebih besar dari lima? Kaku memperkenalkan teori yang disebut “superstring”. Jadi kelengkungan yang terjadi pada ruang dan menyebabkan gravitasi merupakan paket kecil dari “string yang “bergetar” dan “beresonansi”. 

Demikian juga cahaya yang merupakan riak dari dimensi ke-5 adalah komponen “string” lainnya. Dengan begitu, empat gaya dasar tadi dapat digabungkan dan peristiwa di dalamnya menjadi dimensi yang lebih besar: 10 dimensi. Dengan 10 dimensi itu Kaku berhipotesis bahwa semua proses yang terjadi sehari-hari-termasuk fenomena tenaga prana-dapat dijelaskan.

PERKEMBANGAN ilmu fisika belakangan ini bahkan tidak berhenti hanya pada 10 dimensi, masih ada dimensi yang lebih besar lainnya. Banyak konsep bermunculan, seperti pendekatan dengan teori membran dan sebagainya yang semakin menuju pada hasil unifikasi gaya-gaya yang mengatur seluruh alam semesta.

Semua penjelasan ilmiah yang dibentangkan dalam artikel ini pada intinya adalah meyakinkan bahwa di luar panca indera yang terbatas, masih ada dimensi yang lebih tinggi dan belum dieksplorasi dan dirasakan.

Cara berpikir dan bekerja sensor manusia, terbiasa dalam lingkup ruang dan waktu (empat dimensi). Pada kenyataannya, pikiran manusia tidak terbatas hanya pada ruang dan waktu tersebut.

Sudah saatnya ilmu pengetahuan dan teknologi mengarahkan risetnya pada hal-hal yang “esoterik” yang dulu dikatakan sebagai “meta-rasional”, seperti adanya konsep aura, orbs, dan tenaga prana. Dengan demikian, tenaga prana dan metoda penyembuhan yang menggunakan media ini serta segala aspek aplikasinya bisa dikuantifikasi secara ilmiah bila A Theori of Everything telah ditemukan. Pada saat itu, tenaga prana akan terbuka tabirnya dan bukan lagi merupakan hal mistik, seperti anggapan sebagian masyarakat saat ini.

Fadli Syamsudin Praktisi dan pengamat perkembangan tenaga prana, staf peneliti TISDA-BPPT

Sumber : http://agorsiloku.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kenji Goh

"... Takutlah dengan orang yang hanya MENGUASAI satu jurus"