2. Sejarah Silat Cimande Versi Kedua
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah
seorang ahli maenpo dari Kampung Badui. Beliau dipercayai sebagai keturunan
Abah Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau daerah di
Indonesia Tengah). Abah Bugis sendiri adalah salah seorang Guru ilmu perang
khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di Kerajaan Padjadjaran dahulu
kala.
Kembali ke Badui, keberadaan Abah Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan
sesepuh-sesepuh Kampung Badui, karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar
dari daerah lain yang datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan
semuanya berakhir dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui
adalah merupakan “pengotoran” akan kesucian tanah Badui. Karena itu, pimpinan
Badui (biasa dipanggil Pu’un) meminta Abah Khaer untuk meninggalkan Kampung
Badui, dengan berat hati… Abah Khaer pun pergi meninggalkan Kampung Badui dan
bermukim di desa Cimande-Bogor.
Tetapi, untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung
Badui (terutama Badui dalam), Abah Khaer diminta untuk membantah kalau
dikatakan dia berasal dari Badui, dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak
itu diharamkan melatih Maenpo mereka ke orang luar, jangankan melatih…
menunjukan pun tidak boleh. Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk
“menghaluskan” Maenpo nya, sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam
pertarungan, dan juga beliau berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya
untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu beberapa Guru-guru Cimande tua tidak
akan menerima bayaran dari muridnya yang berupa uang, lain halnya kalau mereka
memberi barang… misal beras, ayam, gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti
murid terhadap Guru. Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali
untuk diuangkan.
Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari
daerah Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang, dsb).
Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah Khaer,
misalnya Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah
seorang murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi paham ini
bertentangan dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri
sayangnya sekarang diakui dan dipatenkan di US oleh orang Indo-Belanda sebagai
beladiri keluarga mereka.
3. Sejarah Silat Cimande Versi Ketiga
Versi ketiga inilah yang “sedikit” ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang
lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di Kampung
Tarik Kolot – Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab
tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo
ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut,
masalahnya dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana “leluhur” dalam
bahasa Indonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan sebuah misteri terpisah,
darimana beliau belajar Maenpo ini… apakah hasil perenungan sendiri atau ada
yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut… tepatnya di Tanah Sareal terletak
makam leluhur Maenpo Cimande ini… Abah Buyut, Abah Rangga, Abah Khaer, dll.
Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai pedagang (kuda dan
lainnya), sehingga sering bepergian ke beberapa daerah, terutama Batavia. Saat
itu perjalanan Bogor-Batavia tidak semudah sekarang, bukan hanya perampok…
tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan Macan Kumbang. Tantangan alam seperti itulah
yang turut membentuk beladiri yang dikuasai Abah Khaer ini. Disamping itu, di
Batavia Abah Khaer berkawan dan saling bertukar jurus dengan beberapa pendekar
dari China dan juga dari Sumatra. Dengan kualitas basic beladirinya
yang matang dari Guru yang benar (Abah Buyut), juga tempaan dari tantangan alam
dan keterbukaan menerima kelebihan dan masukan orang lain, secara tidak sadar
Abah Khaer sudah membentuk sebuah aliran yang dasyat dan juga mengangkat
namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa Bupati Rd.
Aria Wiratanudatar VI(1776-1813, dikenal juga dengan nama Dalem
Enoh). Sang Bupati mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya untuk
tinggal di Cianjur dan bekerja sebagai“pamuk” (pamuk=guru beladiri)
di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria Wiratanudatar VI
memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria
Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri)
dan Aom Abas(ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Satu
nama yang patut dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena
beliaulah yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan nantinya
memiliki cucu yang “menciptakan” aliran baru yang tak kalah dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah
Khaer pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di
Bogor. Mulai saat itulah beliau tinggal di Kampung Tarik Kolot –
Cimande sampai wafat (Tahun 1825, usia tidak tercatat). Abah
Khaer sendiri memiliki 5 orang anak, seperti yang dapat dilihat di bawah ini.
Mereka inilah dan murid-muridnya sewaktu beliau bekerja di kabupaten yang
menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh Jawa Barat.
Dan ini adalah gambaran dari salah seorang anak Rd. Aria
Wiratanudatar VI, yaitu Aom Abas, yang setelah menjadi Bupati di Limbangan
Garut juga bergelar Rd. Aria Wiratanudatar.
Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri tidak ada,
cuma digambarkan bahwa beliau:“selalu berpakain kampret dan celana pangsi
warna hitam. Dan juga beliau selalu memakai ikat kepala warna merah,
digambarkan bahwa ketika beliau “ibing” di atas panggung penampilannya sangat
expressif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan
terlatih baik, ketika “ibing” (menari) seperti tidak mengenal lelah. Terlihat
bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya,
langkahnya ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan
kendang (“Nincak kana kendang” – istilah sunda). Penampilannya betul-betul
tidak bisa dilupakan dan terus diperbincangkan.”
(dari cerita/buku
Pangeran Kornel, legenda dari Sumedang, dalam salah satu bagian yang
menceritakan kedatangan Abah Khaer ke Sumedang, aslinya dalam bahasa Sunda,
pengarang Rd Memed Sastradiprawira).
Sumber :
http://www.kaskus.us
http://silatcimande.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar